• Sopo Siri Sopo Ingsun

    Sopo Siro Sopo Ingsun Pernahkah kah kau bertanya siapa dirimu? Dari mana kamu dan mau kemana kamu? Dan dimanakah kamu ? Lalu ku berkaca berputar-putar Bercermin mgukur kekurangane Ngilo ngilo ngetung kang elok, ngak-elok Banjur katon wujud iro (kelihatan bentuknya)

  • Ketiadaan Diri

    Titik penting seorang sâlikîn yang sedang berjalan menuju Allah SWT adalah ketika ia telah sampai pada maqâm fanâ’. Sebuah keadaan dimana ke-diri-an (kehambaan) seseorang telah “tiada”.

  • Usaha Maqom Fana'

    Bagaimana Mencapai Maqâm Fana Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya, maka hijab-hijab kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat besar untuk sampainya seorang hamba.

  • Muroqobah

    Salah satu diantara perkara yang dapat meluruskan akhlak seorang hamba adalah sifat muroqobah yang ada pada dirinya. Yaitu selalu merasa dalam pengawasan Allah subhanahu wa ta’ala.

  • Kalimatul Khaq

    Setiap golongan, kelompok, puak dan sekte dalam pemikiran Islam, masing-masing mengklaim bahwa golongan mereka saja yang benar dan betul serta selamat akidahnya. Sekalipun hal itu mereka lakukan dengan sengaja memelesetkan nash-nash.

SOPO SIRO SOPO INGSUN




Sopo Siro Sopo Ingsun Pernahkah kah kau bertanya siapa dirimu? Dari mana kamu dan mau kemana kamu? Dan dimanakah kamu ? Lalu ku berkaca berputar-putar Bercermin mgukur kekurangane Ngilo ngilo ngetung kang elok, ngak-elok Banjur katon wujud iro (kelihatan bentuknya) Kang koton (terlihat) tergantung bagai mana melihatnya Seberapa ketajamanmu Sedangkan manusia itu banyak kurangnya Terbatas kemampuanya, ning kadang ora rumongso(tidak merasa) Margo soko (karena dari)nuruti hawa nabsunya Dumununge siro iku soko lahir kalawan batin,jiwo lan rogo (asalmu dari lahir dan batin) Mulo elingo nyang piture sesepuh kito (maka ingat akan nasehat para pendahulu kita) Ajining sariro soko busono (harga badan dari pakaian kita) Ajining diri soko lati(harga diri dari mulut,ucapan kita) Kang tegese, dene siro manungso iku akan dihargai ,dikenal badan lahirnya dari busono(pakaian) yang digunakan dan dihargai, dikenal batinnya dari yang dirasakan,diucapkan dan diamalkannya. 

Dadine yen siro berpakaian tentara maka orang akan mengenalnya tentara Bila berpakaian kumuh compang camping dikenalnya segai orang miskin atau si gila Jika suka marah dibilang /dikenal si pemarah Jika selalu senyum dalam segala kondisi dibilang sumeh Jika prilakumu sering memberi petunjuk,mengajar ilmu disebut Pak Guru,Pak Ustad Kabeh mau dadi koco benggolo mrih gampanging nggonmu mangerteni sopo jatining siro Nanging opo siro jujur marang kang katon lan siro rasakno (Namun apa kamu jujur akan yang kamu lihat dan kamu rasakan) Yen siro Ngrumangsani terbatasnya kemampuanya, mulo kudu legowo marang opo kang di sampaikan sepodo podo (menerima penilaian orang lain) sebagai jendela jauh hari Bukanya marah marah seperti kata pepatah “ Buruk rupa cermin di pecah”. 

Mengingat banyak kekurangan kita,keterbatasan kita , maka untuk mengenal diri kita tidak cukup dari pengamatan kita sendiri, dan harus ada konfirmasi orang lain Kemudian diturunkalah kamu ke Dunia Kau telah sanggup sebagai kholifah di Dunia Diciptakan lah raga, nafsu dan pikiran sebagai pakainmu di Dunia Lalu kamu berjalan berjalan dan berjalan Kau dapatkan dua persimpangan Ada yang lurus licin dan indah Ada yang naik terjal dan berkelok Kau harus menetapkan pilihan Kudu eling lan waspodo, jangan terkecoh oleh yang nampak saja Kesesatan biasanya jalan mudah dan enak Kebaikan banyak cobaan dan rintangan Sebagai kholifah segala putusanmu akan diminta pertanggung jawabannya Atau tidak menentukan pilihan alias diam ditempat Itupun sudah merupakan keputusan yang harus dipertanggungkan Waktu terus berjalan. 

Petunjukpun telah disampaikan Melalui Al Qur”an dan Rosulnya serta peristiwa, kejadian alam Dapatkah kau membaca dan mengerti atas petunjuk itu Ataukah hanya kau lihat sekilas Atau kau copy paste tanpa sempat kau cerna Sehingga tak tampak lagi identitasmu karena telah tertimpa segala yang kau rekam Padahal kau diciptan dengan berbeda beda Ada yang tinggi ada yang pendek ,kaya miskin,bagus jelek Semua jadi satu saling melengkapi Dan difungsikan dan tugas yang berbeda. 

Kamudian agar saling mengasihi dan menyayangi Ya Rahman Ya Rohim Ataukah kau telah menjadi budak nafsu dan Dunia Kau paksakan. kehendakmu Lalu mana cintamu, mana kasihmu Masih adakah cinta pada dirimu Cinta menerima apa adanya, menjalankan perintahnya Dimanakah kau Apakah kau telah larut dalam gemerlapnya dunia Apakah kau terjebak dilembah penderitaan dunia Ingat ingatlah waktumu menjelang habis Ingat ingatlah sebagai kholifah di dunia Sebut nama Tuhanmu “ La illaa ha illallah “ Apa yang telah kau lakukan di dunia Hingga tiba waktunya kau harus tinggalkan dunia Kau tiada lagi di dunia Lalu siapa kamu.

Kamu adalah amalmu yang kau tinggalkan Kamu adalah maknamu bagi siapa saja yang kau temukan Koyo godhong suruh mlumah mengkureb, dinulu seje rupo ginigit nunggal rasa ( seperti daun sirih bolak balik beda rupanya dijadikan satu digigit satu rasanya ) Lahir kalawan Batin, Amal baik Amal jelek beda rupa dan bentuknya diikat jadi satu namanya ya Siro ya Ingsun

modin.com

Share:

KETIADAAN DIRI



Titik penting seorang sâlikîn yang sedang berjalan menuju Allah SWT adalah ketika ia telah sampai pada maqâm fanâ’. Sebuah keadaan dimana ke-diri-an (kehambaan) seseorang telah “tiada”. Dalam situasi demikian bagi sâlikîn yang bersangkutan tidak ada lagi yang hidup kecuali Allah SWT, dan sirnalah semua yang tampak.


Yang dimaksud dengan fanâ’ (hilang) di sini bukan fanâ’ fi al-jism atau fanâ’ secara lahiriah. Tapi fanâ’ secara maknawiah, yaitu fanâ’ atau hilang dari wilayah akidah. Fanâ’ fillâh dengan baqâ’ billâh. Fanâ’ fillâh konsep dasarnya adalah Lâ ilâha Illâ Allâh. Semua hal hanya untuk diri-Nya dan tidak untuk yang lainnya. Sebagai bukti konkret orang yang telah fanâ’ adalah ia senantiasa meyakini konsep lâ hawla wa lâquwwata illâ billâh al ‘aliyy al adzîm. Tak ada kekuatan diri, tak ada kemampuan diri, kecuali kekuatan dan kemampuan diri Allah SWT. Pada diri Rasulullah SAW kondisi fana tampak pada periode Mekkah. Semua ketakwaan beliau dan berbagai mukjizat yang terjadi selama periode Mekkah merupakan bukti kuat akan hal itu.

Seorang sâlikîn yang tengah fanâ’ tampak jelas dalam sifat kesehariannya. Berbagai emosi dan reaksi negatif yang biasa bersemayam dalam diri telah berubah menjadi sebaliknya. Tenang, kuat, dan sabar ketika menghadapi gelombang kehidupan merupakan bukti kuat bahwa seseorang telah fana. Bahkan, ketika dicaci-maki oleh banyak orang pun ia tidak serta merta balas memaki atau membenci. Karena, baginya yang penting Allah SWT tidak murka dan membencinya. Konsentrasinya hanya pada Sang Khalik. Semua yang dilakukannya senantiasa berangkat dari kesadaran kehambaan yang harus senantiasa memiliki catatan baik di sisi Allah SWT.

Dalam keseharian, orang yang fanâ’ sepertinya tampak masa bodoh dan asyik dengan dirinya sendiri. Berbagai hal di luar dirinya hanya mendapat sedikit perhatian dan sedikit memberi dampak padanya. Bahkan ketika ia tengah dalam keadaan serba berkekurangan, ia tetap bergeming. Ia tetap bersyukur dan senantiasa mengucap alhamdulillâh.

Fanâ’ bagi seseorang yang belum berkeluarga barangkali tidak menjadi masalah. Tapi lain halnya bila ia telah menikah atau bahkan harus menanggung jawabi orang seisi rumah. Karena sikap kesehariannya terkesan santai dan tidak peduli, sudah barang tentu membuat khawatir banyak orang. Meski, sesungguhnya fana yang benar adalah fanâ’yang tetap pada kesadaran kemanusiaannya, dan tetap sadar pada tanggung jawab sosialnya.

Seseorang yang masih termasuk dalam kategori seorang sâlikîn, fana-nya masih kerap tidak stabil. Ia sering fanâ’ hanya untuk hal-hal yang enak baginya, tapi tidak fanâ’ ketika menghadapi hal buruk yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Karena itu, agarfanâ’ yang terjadi pada seorang salikin adalah fanâ’ yang benar menurut agama dan fanâ’nya stabil, dibutuhkan bimbingan seorang Mursyid. Tidak hanya fanâ’ ketika dalam kesenangan, tapi juga mampu fanâ’ dalam kesulitan. Karena fanâ’ dalam bimbingan seorang Mursyid adalah fanâ’ yang terstruktur, yakni dengan ilmu dan amal yang disebut jalan mutawasith pertengahan). Sehingga yang terjadi adalah fanâ’ yang tidak membuat orang disekelilingnya menjadi gelisah dan marah. Karena ia tetap hidup normal dan menjalankan kewajiban sosialnya dengan baik, namun orientasinya tetap pada hati nurani.

Zaman dahulu, proses fanâ’ dilalui lewat berbagai proses yang terkadang sulit diterima oleh akal, seperti khalwat di gua hingga ditidurkan selama ratusan tahun. Namun tentu saja hal itu bisa terjadi karena situasi dan kondisi zamannya memang berbeda dengan sekarang. Maka, proses pembelajaran dan laku olah spiritualnya pun berbeda. Contohnya, di zaman sekarang bayak orang lebih mengutamakan syariatnya daripada tauhidnya. Sehingga, akhirnya keislamannya pun hanya di permukaan, tidak menyentuh keislaman yang mendalam-Islam yang sesungguhnya.

Tantangan lain, kalau dulu orang melakukan khalwat dengan jalan menyendiri di tempat-tempat sepi macam di gua, maka sekarang orang dituntut untuk bisa khalwat dan ‘uzlah di tengah-tengah masyarakat ramai. Artinya, hati kita tetap terpaut dengan Allah SWT meski fisik jasmaniah kita sibuk dengan kegiatan kemasyarakatan, bekerja mencari nafkah, dan kesibukan mengurus keluarga.

Harus disadari betul bahwa yang khalwat itu adalah khalwat hati bukan jasad. Dan kesadaranpun harus terusdijaga, bahwa pengamalan ma’rifah, pengamalan hakikat, dan pengamalan aqidah merupakan bagian dari perjalanan kita menuju Allah SWT, dan kemampuan kita melakukan khalwat juga merupakan anugerah-Nya. Maka, semua itu harus dikembalikan kepada Allah SWT. Jadi, yang khalwat itu benar-benar bukan jasadnya, melainkan hati dan pikirannya. Hati harus senantiasa menghadirkan Allah SWT, belajar pada setiap keadaan, dan belajar pada setiap persoalan, serta mengembalikan semua yang terjadi pada Allah SWT. Bahkan, bagi seorang mursyid pun khalwat juga merupakan anugerah. Tidak ada seorang pun yang bisa khalwat kalau bukan karena mendapat anugerah-Nya.

Kata Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailanî, banyak orang yang tersesat oleh jin dan iblis ketika berkhalwat. Hal itu bisa terjadi karena minimnya ilmu pengetahuan dan tidak mendapat bimbingan dari seorang Mursyid. Syaikh Abd al-Qâdir al-Jailanî demikian khusyuk dan bergeming ketika tengah ber-khalwat meski digoda oleh iblis. Hanya Allah, Allah dan Allah yang memenuhi ruang batin beliau. Keyakinan bahwa bukan ilmu yang ada padanya yang memberinya kekuatan, namun Allah SWT lah yang memberinya kekuatan dan kemampuan. Akhirnya, beliau pun selamat dan berhasil menyelesaikan khalwat-nya dengan baik.

Di zaman yang serba sibuk sekarang ini, kita tidak perlu melakukan khalwat munfarid atau khalwat di suatu tempat yang sepi. Kita justru dituntut mampu melakukan khalwat hakiki (di dalam hati). Hati senantiasa memandang kepada Allah SWT meski fisik jasmaniah sibuk menjalani hidup keseharian.

Khalifah di Muka Bumi

Hakikatnya, manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Namun, tidak sembarang orang bisa disebut khalifah. Yang bisa benar-benar di katakan khalifah adalah mereka yang sudah “sampai” (secara iman-hati-piki-ran) kepada Allah SWT. Sedangkan mereka yang belum sampai belum pantas menyandang khalifah, karena berarti ia belum punya bekal sebagaimana Nabi Adam AS yang diberi bekal oleh Allah SWT nama-nama di bumi dan di langit. “Barang siapa yang ma’rifatullâh maka tidak ada sesuatu apa pun yang tersembunyi di langit maupun di bumi.” Artinya, ia paham dengan basyirah al-qalbi maupun ladunni. Bahkan, bila ada sesuatu yang tersembunyi sekalipun dia paham, apa yang belum terjadipun dia tahu karena ia diberitahu oleh Allah SWT. Itulah ilmu ladunni.

Ada pula orang yang disebut Âlim al-Rabbânî, yaitu orang yang ‘alim (paham-ahli) dengan Tuhannya, bukan ulama lahiriah. Seorang ulama lahiriah biasanya hanya mampu membaca kitab, sedangkan seorang professor biasanya hanya fasih berwacana tentang agama maupun tasawuf (ia tidak mengamalkan secara mendalam). Berbeda dengan orang yang Âlim al-Rabbânî, yang diberi ilmu ladunni oleh Allah SWT, yang setiap saat membutuhkan ilmu dengan mudah ia memperolehnya, namun sembari tetap mengembalikan semua ilmunya kepada Allah SWT. Orang semacam itu tidak pernah kehabisan jawaban. Semakin banyak orang bertanya padanya, makin mudah ia menjawabnya.

Orang yang Âlim al-Rabbânî juga orang yang sosoknya low profile (rendah hati). Ia tidak akan mengumbar kata-kata kalau tidak ada yang bertanya. Kecuali pada waktu-waktu tertentu ketika ia menjalankan rutinitas tugasnya sebagai ulama. Seperti Rasulullah SAW yang tidak akan mengeluarkan (ilmunya) bila tidak ditanya oleh umatnya. kecuali ketika beliau harus menyampaikan wahyu. Makanya, semua asbâb al-nuzûl dan asbâb al-wurûd Al-Quran dan Al-Hadis itu merupakan hasil pertanyaan dari para sahabat. Begitu juga orang yang dekat dengan Allah SWT. Ia akan diberikan ilham yang sifatnya setingkat dengan wahyu, dan firman Allah akan jelas dan gamblang apabila penjelasannya didasari oleh ilham. Cara Allah memelihara Al-Quran tidak sebatas penjilidan. Karena, penjilidan bisa dilakukan oleh siapa saja. Tapi pemahaman Al-Quran hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bersih hatinya dan diangkat oleh Allah SWT. Sebagaimana janji Allah SWT, “Kami yang menurunkan Al-Quran dan kami yang memelihara.” Maka Allah SWT menurunkan orang-orang yang diisi hatinya dengan ilham untuk mengurai Al-Quran yang sesungguhnya bukan semena-mena dalam bentuk ta’wil.


Ilham dan Wahyu


Turunnya ilham itu sama seperti wahyu. Terkadang mudah dan nikmat, terkadang diterima dengan rasasakit di kepala, dan lain sebagainya. Wahyu dengan ilham tidak berbeda jauh. Bedanya kalau ilham itu tidak boleh ditulis karena akan mengganggu, sebagaimana Rasulullah SAW yang tidak pernah menyuruh sahabat untuk menulis hadis, meski bila para sahabat menulis pun tidak apa-apa, karena bukan merupakan sebuah larangan keras.


Setiap salikin dianjurkan untuk menimba ilmu dari yang “hidup” , artinya ia menimba ilmu dari seorang mursyid. Sebagaimana Abu Yazid menyatakan, “Hai kamu, mengambil ilmu dari mayit ilal mayit. Kamu ambil ilmu dari buku (benda mati), kemudian diajarkan ke orang dan orang itu juga mati, maka ilmunya tidak akan berkembang dan tidak ada berkahnya.” Karena yang benar adalah mengambil ilmu dari yang “hidup” yang tidak pernah mati. Banyak ulama yang belajar dengan, katanya. Katanya kitab ini, dan katanya kitab itu. Dan, bagi siapa saja yang mengajarkan ilmu dan dia merasa bisa mengajar-berarti dia hamba, dan hamba itu mati. Lain halnya seorang Mursyid, yang tidak pernah merasa memberi sesuatu (ilmu), dan tidak pilih kasih pada murid-muridnya. Semua sâlikîn diperlakukan sama dan mendapat perhatian serta kasih sayang yang sama darinya.  […]


Share:

USAHA PENCAPAIAN MAQOM FANA'


Bagaimana Mencapai Maqâm Fana
Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya, maka hijab-hijab kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat besar untuk sampainya seorang hamba di hadapan suci Tuhannya.
Apabila dia tidak memiliki dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan kebergantungan kepada selain-Nya serta sirnanya perhatian kepada keinginan diri sendiri, maka sangat mungkin dia menggapai derajat penyaksian sifat-sifat Tuhan secara terbatas. Setelah mencapai tingkatan ini barulah maqâm fana itu akan diraihnya dan hadir dalam dirinya.
Yang pasti bahwa dalam perjalanan dan suluk irfani ini terdapat banyak tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam kesempatan ini. Akan tetapi, maksud dari “liqa ullah” (perjumpaan dengan Tuhan) yang dibungkus dalam kata-kata seperti syuhud, baqa, dan… adalah tidak dengan menggunakan mata lahiriah ini, karena sebagaimana dalam ayat al-Quran dikatakan, “Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dan dijangkau dengan mata.”[3] Dan begitu pula Tuhan tidak dapat diliputi dengan pikiran-pikiran, karena pikiran dan metode rasionalitas itu tidak disebut sebagai syuhud, liqa, dan …; melainkan apabila seorang hamba ingin “menyaksikan” sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqâm fana maka -sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran- dia harus meninggalkan segala sesuatu selain Tuhan, melaksanakan amal dan perbuatan shaleh, dan tidak menyekutukan Tuhan. Seorang hamba yang berkehendak menyaksikan Yang Haq dengan tanpa perantara mestilah dia tidak memandang dirinya sendiri dan segala sesuatu selain-Nya.
Allah Swt berfirman, “Barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dalam penghambaan kepada Tuhannya.”
Nabi Musa As pun menjadi tidak sadarkan diri atau pingsan ketika berkaitan dengan cerita penyaksian Tuhan. Setelah beliau tersadar dari pingsannya bersabda, “Tuhanku Engkau tidak dapat disaksikan tanpa fana dan memutuskan segala bentuk keterikatan dan kebergantungan.”
Akan tetapi, persoalan yang sangat mendasar di sini adalah apa makna dari ungkapan bahwa sebagian pembesar para pesuluk dan arif mengklaim dapat menyaksikan Tuhan Yang Maha Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan secara umum apa yang dimaksud dengan perantara-perantara tersebut?
Untuk memahami dan mengerti makna ungkapan tersebut alangkah baiknya kita memperhatikan dan menyimak pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs dalam kitabnya “Arbain Hadis”. Beliau dalam kitab itu mengungkapkan, “Setelah mencapai ketakwaan yang sempurna, terputusnya secara total perhatian dan kebergantungan hati dari segala sesuatu yang ada di alam, menyirnakan segala bentuk egoisme dan kecintaan kepada diri sendiri, perhatian sempurna kepada Tuhan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Yang Maha Suci, melakukan segala bentuk pensucian hati, maka akan muncul dan hadir suatu bentuk pencerahan hati dan cahaya malakuti di dalam hati para pesuluk yang beriringan dengan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan… dan antara ruh suci pesuluk dan Dzat Suci Tuhan hanya terdapat satu hijab, yakni hijab nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Untuk sebagian pembesar para pesuluk sangatlah mungkin mampu merobek hijab-hijab cahaya (hijab nama dan sifat Tuhan) tersebut dan hanya menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci Tuhan, dan dalam penyaksian ini dia “memandang” pancaran eksistensial Tuhan dan kefanaan zatnya sendiri.”
Dengan kandungan makna yang kurang lebih sama dengan pernyataan Imam Khomeni qs, di bawah akan diutarakan suatu doa yang mulia, munajat sya’baniyah: “Ya Ilahi anugerahkan kepadaku kesempurnaan penyatuan dengan-Mu … sedemikian sehingga mata hati merobek hijab-hijab cahaya.”
Share:

MUROQOBAH





RINGKASAN KAJIAN TENTANG MUROQOBAH – BAGIAN 2

Salah satu diantara perkara yang dapat meluruskan akhlak seorang hamba adalah sifat muroqobah yang ada pada dirinya. Yaitu selalu merasa dalam pengawasan Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah yang nanti akan meluruskan akhlak seseorang. Ketika seseorang merasa diawasi oleh Allah, dia akan menjaga semua tutur katanya, semua tindak tanduknya, berhati-hati sebelum bersikap dan berbuat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang perlu kita teladani dalam bab ini. Beliau dalam banyak kesempatan juga memberikan motivasi kepada para sahabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Abdullah bin Abbas radiyallahu ‘anhu,
…يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: ‘Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu…'”

Pada hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong seorang Abdullah bin Abbas yang ketika itu masih anak-anak untuk menjaga nilai-nilai adabnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi memerintahkan untuk menjaga agamanya, menjaga perintah dan larangan Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan targhib dengan menyebutkan balasan bagi orang-orang yang menjaga agama Allah dan menjaga nilai-nilai imannya. Yaitu dia akan berada dalam penjagaan Allah subhanahu wa ta’ala yang maha perkasa. Ini adalah suatu dorongan dan pelajaran yang berharaga dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
Begitulah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita agar selalu merasa dalam pengawasan Allah disetiap diam dan gerakan kita. Hendaknya pengawasan ini kita rasakan dan kita hadirkan dalam kehidupan kita dimanapun dan kapanpun. Sehingga kita terdorong untuk melakukan yang terbaik dan menghindari hal-hal yang buruk. Melakukan ketaatan dan menjauhi segala bentuk dosa dan pelanggaran.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan juga dalam hadits yang lain:
اتق الله حيثما كنت ، وأتبع السيئة الحسنة تمحها، وخالق الناس بخلق حسن
Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, dan hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik” (HR. Ahmad & Tirmidzi)

Inilah akhlak yang luhur dan terpuji. Akhlak yang tinggi, yaitu kita menjaga sikap dan prilaku kita bukan hanya di depan manusia. Tetapi juga ketika kita tidak berada di hadapan mereka. Ketika kita seorang diri, takwa kepada Allah dan akhlak mulia adalah bekal utama untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan ini hanya bisa dicapai jika seorang hamba benar-benar merasakan pengawasan Allah subhanahu wa ta’ala baik ketika sendiri maupun ketika ditengah-tengah keramaian.

Share:

Amal Yang Di Cintai Alloh


KAJIAN ISLAM ILMIAH TENTANG AMALAN YANG DICINTAI ALLAH ADALAH YANG DILAKUKAN TERUS-MENERUS WALUPUN SEDIKIT
Dan Masruq meriwayatkan bahwasanya beliau berkata kepada ‘Aisyah Ummul Mukminin Radhiyallahu ‘Anha:

أَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَتْ : الدَّائِمُ ، قُلْتُ : فَأَيُّ اللَّيْلِ كَانَ يَقُومُ ؟ قَالَتْ : إِذَا سَمِعَ الصَّارِخَ

“Amalan apa yang paling dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? maka ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menjawab,’Yang terus-menerus dilakukan.’ kemudian Masruq berkata lagi, ‘Diwaktu apa pada malam hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bangun untuk shalat?’ maka ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menjawab, ‘Apabila beliau mendengar ayam jantan berkokok.'” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim)

Dan yang dimaksud dengan الصَّارِخَ (yang berteriak) di sini adalah ayam jantan yang berkokok pada malam hari atau sebelum fajar.

Pertanyaan yang ditanyakan oleh Masruq -beliau adalah salah satu ulama dari kalangan Tabi’in- kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha sama dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka sering bertanya, “Amalan apa yang utama? Amalan apa yang paling dicintai oleh Allah dan RasulNya?” Dan ini menunjukkan semangat para Salaf untuk mengetahui keutamaan-keutamaan suatu amalan. Dan ini juga memperingatkan kepada kita semua bahwasanya tujuan kita mengetahui keutamaan-keutamaan suatu amalan bukan sekedar agar kita ketahui begitu saja, akan tetapi tujuan dari pengetahuan kita terhadap keutamaan satu amalan adalah kita mengerjakan amalan tersebut sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah ‘Azza wa Jalla pernah berkata dalam hadits qudsi:
وَمَا يَزالُ عَبْدِي يتقرَّبُ إِلى بالنَّوافِل حَتَّى أُحِبَّه

“Dan hambaKu terus-menerus mendekat kepadaKu dengan melakukan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya.” (HR. Bukhari 6502)

Maka tujuan dari kita mengetahui keutamaan-keutamaan satu amalan agar hal itu memotivasi kita untuk melakukan amalan-amalan tersebut.

Amalan Yang Paling Dicintai Allah

Pertanyaan Masruq kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menjawab yaitu yang dilakukan secara terus-menerus.

Ini adalah amalan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana sabda Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam:

وَاعْلَمُوا أَنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Dan ketahuilah bahwasanya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Muslim 2818)

Dilakukan Terus Menerus Walaupun Sedikit

Jadi, yang paling dicintai oleh Allah adalah yang kontinu walaupun sedikit tapi terus-menerus dikerjakan. Karena amalan yang sedikit lebih baik daripada amalan banyak yang dikerjakan hanya sekali, dua kali atau tiga kali kemudian seorang bosan dan tidak melakukannya lagi.

Kemudian masalah kontinu dalam melakukan suatu amalan dan terus-menerus ini adalah suatu perkara yang sangat penting yang membantu seseorang untuk konsisten di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hal ini benar-benar harus diperhatikan oleh seorang hamba. Karena banyak di antara manusia yang berusaha untuk konsisten akan tetapi kemudian ia bosan untuk melakukan suatu amalan yang seharusnya dikerjakan terus-menerus baik itu setiap minggu, setiap bulan dan ia melihat bahwasanya amalan tersebut amalan yang berat dan ia tidak bisa sabar untuk terus melakukannya. Maka melatih diri untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakukan amalan-amalan yang terus-menerus ini lebih baik daripada kita melakukan suatu amalan yang banyak namun dikerjakan hanya sekali atau dua kali kemudian setelah itu ditinggalkan. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang kontinu walaupun sedikit.
Waktu Yang Utama

Kemudian bertanya Masruq kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Kapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bangun untuk shalat malam?” Ini adalah pertanyaan tentang waktu yang utama/waktu yang afdhal. Karena seluruh malam adalah waktu untuk qiyamul lail. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diriwayatkan dalam riwayat-riwayat yang shahih bahwasanya beliau pernah melakukan witir di semua waktu di malam hari. Terkadang beliau melakukan witir diawal malam, terkadang dipertengahan malam, kadang diakhir malam. Namun di sini pertanyaan tentang waktu mana yang paling afdhal (utama).

Suara Ayam Berkokok

Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menjawab bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bangun untuk shalat malam apabila mendengar suara ayam berkokok. Dan apabila seorang muslim mendengarkan suara kokokan ayam, maka disyariatkan untuknya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah karunia dariNya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذا سَمِعْتُمْ صِياحَ الدّيَكَةِ فاسْأَلُوا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فإنَّها رأتْ مَلَكاً

“Jika kalian mendengarkan suara kokokan ayam jantan maka mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari karuniaNya, karena sesungguhnya ayam tersebut melihat malaikat.” (HR. Bukhari)

Dan ayam jantan yang berkokok ini membangunkan seorang muslim dan dinamakan dengan الصَّارِخَ (yang berteriak). Karena setelah lewat tengah malam atau sekitar sepertiga malam terakhir ayam-ayam biasanya mulai berkokok dan hal itu membuat orang-orang terbangun dari tidurnya dan ini menunjukkan bahwasanya malam sudah berlalu separuhnya atau lebih dan ini waktu untuk qiyamul lail. Dan ada hadits yang menunjukkan keutamaan ayam jantan, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
لا تسُبُّوا الدِّيكَ؛ فإنَّه يُوقِظُ للصَّلاةِ

“Janganlah kalian mencela ayam jantan karena sesungguhnya ia membangunkan orang untuk shalat.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Dan apabila Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kita untuk mencela ayam jantan yang berkokok karena ia membangunkan orang untuk shalat maka tentu kita lebih dilarang untuk mencela para ulama yang membangunkan hati-hati manusia dan mengingatkan orang-orang yang lalai dari hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka ini menunjukkan bahwasanya para ulama lebih penting untuk dijaga kehormatan mereka daripada ayam jantan.

Penulis kitab ini Rahimahullah juga mengatakan bahwa Abdullah bin ‘Amr meriwayatkan beliau berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepadaku:

يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ ، فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

“Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti Fulan yang dahulu selalu bangun qiyamul lail kemudian ia meninggalkan qiyamul lail.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Jangan engkau seperti Fulan” Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang tidak menyebutkan secara jelas nama yang ada dalam hadits ini, yaitu “Fulan”. Apakah Nabi ataukah perawi hadits ini ataukah perawi-perawi yang meriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘Anhuma. Akan tetapi pendapat yang lebih kuat yaitu bahwasannya Nabi lah yang sengaja tidak menyebutkan nama tertentu karena beliau tidak bermaksud menentukan siapa orangnya, kemudian beliau tidak ingin menyebutkan nama orang tersebut. Dan tidak menyebutkan secara jelas dalam hal-hal seperti ini lebih baik daripada kita menyebutkan nama seseorang dikarenakan dua hal; yang pertama untuk menutupi aib dari orang tersebut, yang kedua bisa jadi dia telah bertaubat dan tidak melakukan perbuatan yang tidak baik tersebut. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, “Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti Fulan yang dahulu selalu bangun qiyamul lail kemudian ia meninggalkan qiyamul lail.”
Dalam hadits ini juga ada penegasan dari hadits yang sebelumnya bahwasannya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus. Dan seseorang jika melakukan amalan yang terus-menerus misalnya qiyamul lail yang dilakukan secara terus-menerus walaupun hanya 3 rakaat atau 5 rakaat, itu lebih baik daripada banyak rakaatnya akan tapi terputus atau tidak dilakukan secara kontinu. Dan ini menunjukkan bahwasanya penting sekali bagi kita untuk kontinu dan terus-menerus melakukan satu ibadah yang telah kita kerjakan.

Jumlah Shalat Nabi Pada Malam Hari

Penulis kitab ini Rahimahullah mengatakan, “Dan Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwasanya beliau mengatakan, ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah shalat malam pada bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat empat rakaat, jangan tanyakan tentang baiknya dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, jangan bertanya tentang baiknya dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat.’ Berkata ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ‘Maka aku bertanya, wahai Rasulullah apakah engkau tidur sebelum witir?’ Beliau menjawab, ‘Wahai ‘Aisyah sesungguhnya kedua mataku tidur akan tetapi hatiku tidak tidur.'” (HR. Bukhari dan Muslim)

Juga Al-Qasim meriwayatkan bahwasannya beliau berkaata, “Aku mendengar ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, ‘Shalat malam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah 10 rakaat, kemudian boleh witir dengan 1 rakaat, kemudian beliau shalat dua rakaat fajar, jumlah seluruhnya adalah 13 rakaat.”

Penulis kitab ini Rahimahullah menerangkan dalam dua hadits ini jumlah shalat yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada malam hari. Dan bahwasanya beliau tidak pernah lebih dari 11 rakaat. Dan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menyebutkan 11 rakaat ini bahwasanya beliau shalat empat rakaat, kemudian 4 rakaat, kemudian tiga rakaat. Ini adalah shalat Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di malam hari. Dan beliau memanjangkan shalat tersebut.
Juga telah shahih dari perkataan dan perbuatan beliau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau memulai shalat malam dengan dua rakaat yang ringan. Maka sunnahnya yaitu seorang mulai shalat malamnya dengan dua rakaat yang ringan. Kemudian para ulama Rahimahullah menyebutkan hikmah dari hal tersebut yaitu agar seseorang bersemangat untuk memanjangkan rakaat-rakaat berikutnya, kemudian menutup shalatnya di malam hari dengan 1 rakaat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

“Jadikanlah akhir shalat malam kalian dengan witir.” (HR. Bukhari 998, Muslim 751)

Dalam hadits yang kedua:

وَيُوتِرُ بسجدةٍ

“Dan beliau witir dengan 1 rakaat.” (HR. Muslim 738)

Waktu Shalat Malam

Adapun waktu shalat malam maka waktunya setelah shalat isya’ sampai adzan fajar. Bahkan seandainya seorang yang sedang safar kemudian ia menjamak shalat isya’ dengan shalat magrib maka waktu shalat lail yaitu setelah ia melakukan shalat isya’ yang dijamak tadi.

Maka waktu qiyamul lain ini adalah waktu yang panjang, ia bisa melakukan diawal malam, di pertengahan malam atau akhir malam. Dan seorang hendaklah berusaha untuk tidak meninggalkan shalat malam ini.

Sepertiga Malam Terakhir

Waktu yang paling utama untuk qiamul lail yaitu di sepertiga malam terakhir sebagaimana yang telah kita jelaskan yaitu apabila seseorang mendengar suara ayam berkokok karena waktu tersebut adalah waktu turunnya Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana dalam hadits yang mutawatir dari Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda:
” ينزل رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ : مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ”

“Allah Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia disetiap malam ketika tersisa sepertiga malam terakhir kemudian ia mengatakan, ‘Siapa yang berdoa kepadaKu Aku akan menjawab doa tersebut, siapa yang meminta kepadaKu Aku akan memberikannya, siapa yang meminta ampunan kepada Aku akan mengampuninya.” (HR. Bukhari 1145, Muslim 758)

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

انُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ ﴿١٧﴾ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ ﴿١٨﴾

“Mereka sangat sedikit tidur malam mereka dan diwaktu akhir malam mereka beristighfar meminta ampun kepada Allah.” (QS. Adz-Dzariyat[51]: 17-18)

Juga firman Allah:

وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ ﴿١٧﴾

“Dan orang-orang yang meminta ampun kepada Allah pada waktu sahur (yaitu di akhir malam).” (QS. Ali Imran[3]: 17)

Share:

LA TAHZAN


dakwatuna.com – Di dalam gua Tsur wajah Abu Bakar pucat, tegang. Langkah kaki para pemuda Quraisy terdengar begitu jelas dari dalam gua. Tak terasa tubuh Abu Bakar bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu dari kaum Quraisy itu. Setengah berbisik berkata Abu Bakar kepada Rasulullah.  “Wahai Rasulullah, bilamana salah satu dari mereka melihat ke bawah kedua kakinya, maka kita akan ketahuan.”. Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar “Janganlah engkau kira, kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Allah. Jangan khawatir, Allah bersama kita.”. Peristiwa ini diabadikan dalam Quran Surat At Taubah ayat 40 “Saat itu dia (Nabi Muhammad) berkata kepada temannya, “Janganlah berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” La Tahzan, Innallaha Ma’ana.
Ketika perasaan bersama Allah membuat tenang, maka tidak ada masalah yang besar. Yang ada hanya Allah Yang Maha Besar.

Setiap manusia pasti mempunyai masalah. Sering kali kita dihadapkan dengan ujian hidup. Ada yang begitu berat untuk dihadapi, ada pula yang begitu ringan untuk diselesaikan. Tapi satu hal yang perlu kita sadari, setiap manusia pasti mendapatkan ujian. Semua orang menghadapi masalahnya masing-masing. Ada yang diuji dengan sakitnya , diuji dengan kesempitan hidup. cobaan hidup yang beruntun, kehilangan pekerjaan, rezeki seret, dizalimi orang, terlilit hutang. Bahkan tidak jarang pula diuji dengan harta, kekayaan dan jabatannya. Yang membedakan antara satu dengan yang lain adalah cara menghadapinya, seberapa cerdas menyikapinya, seberapa siap menghadapinya, dan seberapa bijak menyelesaikannya.
Tapi tenanglah, tegarlah, tentramkanlah hati karena Allah bersama kita. Karena di balik semua ujian yang ada , Allah berjanji tidak akan pernah memberikan ujian kepada kita dengan melampaui batas kemampuan dari umatnya, yang diabadikan dalam Alquran surah Al Baqarah ayat 286. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Dalam ayat lainnya Allah juga berjanji bahwa bersama kesulitan ada kemudahan, “innamaal ‘usri yusro…” Sesungguhnya bersama dengan kesulitan, ada kemudahan. Ma’al, bukan badal. Bersama, bukan sesudah.
Yang kita perlukan sekarang adalah melatih perasaan itu. Melatih perasaan bahwa ada Allah yang selalu mengawasi kita, ada Allah yang senantiasa memberikan pertolongan bagi hamba-hambaNya yang bersabar. Perasaan itulah yang perlu kita hadirkan saat masalah datang kepada kita. Sesungguhnya Allah bersama kita. La Tahzan, Innallaha Ma’ana.
Dari peristiwa Abu Bakar di atas pun, kita bisa belajar bagaimana kita seharusnya manjalani hidup ini, yaitu memilih teman yang mampu mengingatkan kepada Allah. Ketika perasaan takut, kalap, dalam menghadapi ujian hidup ada teman yang selalu mengingatkan kita kepada Allah. Ketika wajah Abu Bakar pucat, tegang melihat pemuda Quraisy yang semakin mendekati mereka, yang sewaktu-waktu bisa ketahuan, ada Rasulullah yang memberikan ketenangan hati.. Ketika banyak masalah datang setidaknya ada yang memberikan ketenangan , agar kita tidak semakin terpuruk dan tenggelam terlalu dalam dengan masalah yang menghampiri kita. Teman yang mampu memberikan ketenangan hati inilah,yang mampu mengingatkan kepada Allah, yang kita butuhkan ketika masalah datang. Seperti ucapan Rasulullah yang penuh makna kepada sahabatnya Abu Bakar. “Jangan khawatir, Allah bersama kita” Laa Tahzan, Innallaha Ma’ana.
Sehingga pada akhirnya ketika perasaan bersama Allah sudah ada pada diri kita. Ketika perasaan bersama Allah membuat tenang, maka tidak ada masalah yang besar. Yang ada hanya Allah Yang Maha Besar. “Janganlah berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” Laa Tahzan, Innallaha Ma’ana.



Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/05/16/68644/laa-tahzan-innallaha-maana-2/#ixzz64muFLeDz
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Share:

KALIMATUL HAQ

Kalimatul haq

dakwatuna.com – Setiap golongan, kelompok, puak dan sekte dalam pemikiran Islam, masing-masing mengklaim bahwa golongan mereka saja yang benar dan betul serta selamat akidahnya. Sekalipun hal itu mereka lakukan dengan sengaja memelesetkan nash-nash (teks) dan lafaz-lafaz hadits demi membenarkan dan membela golongan dan puak masing-masing. Dan sering kita mendengar bahwa akidah yang selamat adalah akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah, namun yang menjadi persoalan adalah siapakah yang dimaksud sebagai Ahlu Sunnah atau dengan kata lain: Apakah Asy’ariyah & Maturidiyah merupakan bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah? Atau Ahlu Sunnah adalah Salafi Wahabi? Atau adakah golongan Syiah dan puak-puaknya?
Sebelum lebih jauh menjelaskan akidah Ahlu Sunnah, terlebih dahulu penulis menukil sebuah hadits yang menjadi rebutan bagi semua golongan untuk berada dalam pilihan Rasulullah saw untuk memenangi golongan yang selamat yaitu:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- (افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ) –
“Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Yaitu golongan yang berada dalam jamaah.” (Abu Daud, no: 3980)
Dalam riwayat lain:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (تَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ، قَالُوْا وَمَا تِلْكَ الْفِرْقَةُ؟، قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ)
“Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Kesemuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan saja yang selamat, kemudian para sahabat bertanya: Siapkah golongan yang terselamat itu? Rasulullah menjawab: “Mereka adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku kerjakan dan sahabat-sahabatku”. (Al-Tabrani, no: 4886).
Dijumpai dari teks hadits di atas kalimah “al-Jamaah” dan “Maa Ana alaihi al-yaum wa Ashaabi” yang memberikan sebuah ilustrasi bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang tidak berpecah dan menempuh jalan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw dan para sahabatnya pada masa itu. Dari sinilah muncul istilah Ahlis Sunnah wal Jamaah. Sehingga semua aliran, golongan, kelompok dan puak, berusaha menafsirkan dan memahamkan hadits tersebut bagi tujuan masing-masing untuk menyatakan bahwa golongan merekalah yang dimaksudkan hadits tersebut.

Definisi Ahlu Sunnah wal Jamaah

Setiap golongan, puak, persatuan dan mazhab memiliki pendiri atau sekurang-kurangnya ada yang memulakan perjalanan organisasi tersebut, sehingga memiliki ketua, pemimpin ataupun pengarah, namun Ahlu Sunnah tidak demikian, ia tidak memiliki pendiri, ketua, pemimpin. Oleh karena itu Ahlu Sunnah bukanlah golongan sebuah puak atau golongan tertentu, seperti puak Asy’ariah, Maturidiyah, Wahabiah, Hanafiah, Malikiah, Syafi’iyyah dan mazhab-mazhab lain yang masing-masing memiliki pendiri dan pengetua dan dikenal khalayak ramai. Melainkan Ahlu Sunnah merupakan satu standar pemahaman, pemikiran agama yang mengandung aspek nilai yang mulia dan murni. Oleh karena tidak ada yang boleh jawab tentang siapa pendiri dan pemimpin Ahlu Sunnah, maka ada baiknya kalau kita mulakan dengan definisi Ahlu Sunnah itu sendiri.
Dalam bahasa Arab kalimah “Ahlu” berarti keluarga, kerabat, famili, pemilik. Kemudian dalam kamus “Lisan al-Arab”, kata as-Sunnah dari sudut etimologi diartikan sebagai as-Sayr (perjalanan). Baik orang itu berjalan dalam kebajikan, kebaikan atau keburukan. Sedangkan dalam pengertian epistemologi, as-Sunnah diartikan sebagai: “Pedoman hidup Rasulullah saw dan para sahabatnya. Baik berupa ilmu pengetahuan, keyakinan dan kepercayaan (ideologi), perkataan (ucapan), perbuatan (praktikal), dan ajaran-ajaran sunnah tersebut wajib diikuti dan ditaati oleh umat. Oleh karena itu kalau dikatakan bahwa: si fulan adalah pengikut Ahlu Sunnah, berarti ia adalah orang yang mengikuti jalan yang lurus.
Adapun pengertian al-Jamaah, dalam etimologi diartikan sebagai “Penggabungan sesuatu dengan lainnya”. Sebagaimana yang disinyalir oleh Ragib al-Asfahani, bahwa al-Jamaah artinya adalah: “Menghubungkan sesuatu dengan lainnya, maksudnya menghimpunkannya”. Sedangkan dalam pengertian epistemologi, al-Jamaah adalah salaf al-Ummah.
Definisi di atas memberikan ilustrasi bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah adalah mereka yang mengikuti cara hidup Rasulullah saw, para sahabatnya, tabi’in dan siapa saja yang mengikuti mereka, dengan menghindarkan diri dari amalan bid’ah, di sepanjang zaman dan tempat.
Untuk menyimpulkan dari tiga definisi kalimah di atas, dapat dikatakan dengan mudah bahwa Ahlu Sunnah Wal Jamaah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah saw dan sunnah para sahabatnya. Kesimpulan ini telah ditegaskan oleh Ibnul Jauzi, “Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar (sunnah) Rasulullah saw dan para sahabatnya adalah Ahlu Sunnah”. Oleh karena itu istilah ”Ahlu Sunnah wal Jamaah” adalah sudah lama muncul, ianya sudah muncul sebelum lahirnya mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, sebab ia adalah pegangan para sahabat yang menerima langsung ajaran-ajaran agama dari Rasulullah saw. Dan bagi siapa saja yang menyalahi mazhab dan pendirian sahabat, maka mereka dianggap bid’ah di sisi Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Perlu disebutkan juga bahwa awal penyebutan istilah Ahlu Sunnah Wal Jamaah berasal daripada Ibnu Abbas (Sepupu Nabi Muhammad SAW), hal ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya yang bertajuk “Tafsir al-Quran al-Adzim” bahwa Ibnu Abbas mengurai makna surah Al-Imran, ayat: 106: seperti berikut:
)يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ(
“Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan (pada hari itu) ada pula wajah yang hitam muram”. dimaksudkan pada hari itu adalah hari kiamat (يَوْمُ الْقِيَامَةِ), wajah-wajah Ahlu Sunnah wal Jamaah tampak putih berseri-seri (حِيْنَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ), sedangkan wajah-wajah Ahli Bid’ah dan Firqah yang sesat tampak hitam muram (وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَهْلِ البِدْعَةِ وَالْفِرْقَةِ). (Ibnu Katsir; 2/92).
Di samping itu sebenarnya istilah tersebut dimunculkan dan disosialisasikan di tengah masyarakat untuk membedakan ajaran Islam yang murni, benar, betul dan lurus daripada ajaran-ajaran sesat yang tidak sesuai dengan amalan Rasulullah saw sebagai pembawa risalah Islam, di antara ajaran yang dianggap sesat oleh ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah puak Jahmiyah, Qadariyah, Syiah dan Khawarij.
Oleh karena itu orang-orang yang berpegang teguh dan mengamalkan hakikat ajaran Islam yang betul-betul murni dinamakan “Ahlu Sunnah wal Jamaah”. Hal ini dijelaskan dengan tegas oleh Imam Malik ketika beliau ditanya: “Siapakah sebenarnya Ahlu Sunnah itu? Ia menjawab: Ahlu Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqb (julukan) yang sudah popular (di masyarakat saat itu). Jadi Ahlu Sunnah bukanlah Jahmiyah, Qadariyah, dan Syiah”.
Sekitar 85-90% umat Islam sedunia berpahaman Sunni, manakala 10-15% pula menganut pahaman Syiah.

Hakikat Ahlu Sunnah wal Jamaah

Sekalipun sudah jelas pendefinisian Ahlu Sunnah wal Jamaah sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, namun dalam realitas, ulama masih juga berbeda pendapat tentang siapakah sebenarnya dari golongan Islam yang berhak menjadi Ahlu Sunnah Wal Jamaah? Oleh karena itu, perbincangan istilah ini sangat luas pemakaiannya, dan tidak henti-hentinya dibahas dan diangkat menjadi persoalan dan perdebatan di kalangan ulama.
Bahkan Ibnu Taimiyah terkadang hanya menyebutkan “Ahlu Sunnah” saja, tanpa diiringi dengan sebutan “al-Jamaah”. Hal ini dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dengan maksud untuk membedakan antara Islam Sunni dengan Islam Syiah. Jadi sebutan Ahlu Sunnah tanpa menyebut al-Jamaah, dimaksudkan bagi semua golongan Islam yang menetapkan dan mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Oleh karena itu Ibnu Taimiyah dalam hal ini golongan seperti, Asy’ariah dan Maturidiyah adalah golongan Ahlu Sunnah. Dan menurut Ibnu Taimiyah ini adalah pengertian secara umum.
Adapun secara pengertian khas (spesifik), Ahlu Sunnah yang dimaksud hanya terbatas kepada Ahli Hadits dan Sunnah, yaitu bagi mereka yang mengakui sifat-sifat Allah SWT secara harfiah tanpa dita’wilkan, mereka meyakini bahwa al-Quran adalah Kalamullah bukan makhluk, mempercayai takdir dan persoalan-persoalan akidah lainnya.
Berdasarkan dua pengertian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Ibnu Taimiyah mengkhususkan istilah Ahlu Sunnah kepada ulama Salaf saja. Namun beliau tidak membatasi julukan Ahlu Sunnah hanya kepada mereka. Akan tetapi beliau tetap memberikan ruang bagi golongan dan puak lainnya untuk berafiliasi dalam lingkup Ahlu Sunnah, seperti golongan, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Zahiriyah yang ikut membantah ajaran Islam Syiah. Adapun golongan Mu’tazilah dan Khawarij bagi Ibnu Taimiyah dengan tegas menolak dan menafikan mereka sebagai Ahlu Sunnah, karena mereka mengatakan al-Quran adalah makhluk (Haditsun), Allah tidak dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, melainkan dilihat dengan mata hati saja, dan persoalan akidah lainnya.
Sebenarnya nama penuh Ahlu Sunnah ditambah dengan Al-Jamaah sehingga menjadi “Ahlu Sunnah wal Jamaah”, sebab berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- (افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ) –
“Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. yaitu golongan yang berada dalam jamaah “al-Jamaah”. (Abu Daud, no: 3980).
Ulama berbeda pandangan tentang yang dimaksud Jamaah dalam hadits di atas, yaitu:
  1. 1. Mereka yang mengikut panduan para sahabat saja.
  2. 2. Mereka kumpulan ulama hadits, para imam mujtahid.
  3. 3. Mereka adalah al-Sawad al-a’zam, al-Sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Sedangkan al-a’zam artinya besar, agung, banyak. Sehingga al-sawad al-a’zam secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. al-Sawad al-A’zam disebutkan dalam hadits:
عَنْ أنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ)
“Dari Anas bin Malik, bahwa saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat melakukan kesesatan, sekiranya menemukan perselisihan pandangan, maka rujuklah kumpulan yang terbanyak “al-Sawad al-A’zam”. )Ibnu Majah, no: 3940).
Apapun halnya, menurut imam Syatibi, kalimat “al-jamaah” yang dimaksudkan oleh hadits di atas adalah bersatunya umat Muhammad SAW pada imam yang menjalankan amalan yang sesuai dengan panduan Quran dan Sunnah.
Perlu disebutkan bahwa pada masa kontemporer saat ini golongan Wahabi tidak mengakui golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai Ahli Sunah wal Jamaah bahkan keduanya disesatkan, sebab kedua golongan tersebut menta’wilkan sifat-sifat Allah swt. Tentunya pendapat ini salah, keliru dan ekstrem, sebab nisbah kedua puak tersebut sebagai puak yang menyebarkan ajaran akidah Ahlu Sunnah telah ada sebelum munculnya gerakan Wahabi pada tahun 1125 H/1713 M.
Sebagai bukti yang nyata, imam Ghazali sendiri sebagai salah satu ulama Asy’ariyah dengan tegas menyebut dalam kitabnya “al-Munqiz mi al-Dalal” bahwa tujuan belajar ilmu kalam adalah membela akidah Ahlu Sunnah:
(وَإِنَّمَا الْمَقْصُوْدُ مِنْهُ حِفْظُ عَقِيْدَةِ أَهْلِ السُّنَّةِ، وَحِرَاسَتِهَا عَنْ تَشْوِيشِ أَهْلِ الْبِدْعَةِ)
“Tujuan ilmu kalam adalah untuk menjaga akidah Ahlu Sunnah, dan memeliharanya dari gangguan ahli bid’ah”.
Imam Maturidi sebagai pendiri puak Maturidiyah mengarang sebuah kitab tafsir 10 jilid dan menamakan karyanya dengan nama “Ta’wilaat Ahli Sunnnah”.
Oleh karena itu, dalam kitab “Miftah al-Sa’adah” yang dikarang oleh syekh Kibri Zaadah, menyebutkan bahwa: “dua pemimpin Ahlu Sunnah dalam kajian ilmu kalam, yaitu: pertama, imam Abu Mansour al-Maturidi dari mazhab Hanafi dan dijuluki sebagai imam al-Huda, kedua, imam Abu Hasan al-As’yari dari mazhab Syafi’i, dan dijuluki sebagai syekh Sunni dan pemimpin jamaah serta imamnya ulama kalam”.
Dengan demikian, isu seperti ini merupakan suatu persoalan yang sepatutnya tidak ditimbulkan dalam masa ini, sebab hanya menambah perpecahan umat dan mengeruhkan keadaan, sehingga umat Islam yang sebelumnya terbagi kepada dua puak besar yaitu Islam Sunni dan Islam Syiah, kini menjadi tiga puak yaitu (1) Ahlu Sunnah (Asy’ariyah dan Maturidiyah). (2) Ahlu Sunnah Wahabiyah. (3) Syiah. Dan tentunya perpecahan ini memberikan ruang dan kesempatan bagi pihak luar Islam untuk mengadu domba umat. Oleh karena itu sebaiknya kesemua pihak menahan diri dari sikap intoleran dan berhenti berlawan antara sesama Ahlu Sunnah wal Jamaah. Sebab seperti ini tidaklah mendatangkan apa-apa manfaat untuk kebangkitan umat Islam, bahkan membahayakan agama Islam, dan perlu kita ingat bersama bahwa musuh kita bukan dari kita, melainkan dari luar agama, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah:
(وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ(
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka”. (Al-Baqarah, 120).
Alangkah baiknya kalau kita bersatu padu dalam agama dan tidak bercerai berai bak buih di lautan, sebaiknya kita mengangkat satu syiar agama sebagai satu muslim “One Muslim”, dalam istilah al-Quran dikenal dengan “Ummatan wahidatan” atau Islam adalah satu umat, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah swt:
(إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ(
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (Al-Anbiyaa, 92).
Dalam kitab Syiah Zaidiyah “al-Hikmah al-Durriyyah” karangan Ahmad bin Sulaiman (ulama Syiah Zaidiyah) disebutkan:
(سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا هَالِكَةٌ إِلاَّ فِرْقَةٌ وَاحِدٌة، قِيْلَ: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟، قَالَ: هُمْ مُعْتَزِلَةُ الشِّيْعَةِ وَشِيْعَةُ الْمُعْتَزِلَةِ)
“Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan hancur kecuali satu, yaitu Mu’tazilah Syiah dan Syiah Mu’tazilah”.
Tidak ada keraguan untuk menilai penyimpangan riwayat di atas, sebab pertanyaan ditujukan kepada Nabi Muhammad, sedangkan ketika itu belum ada golongan yang dinamakan Syiah maupun Mu’tazilah.
Apapun halnya, dalam tulisan ini, sepatutnya pertikaian antara sesama Ahlu Sunnah wal Jamaah sebaiknya dihentikan, sebab bukan masanya lagi bergaduh, Islam semakin berpecah-pecah akibat sifat saling menjatuhkan antara sesama yang mengaku Islam Sunni, yaitu antara aliran Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah Wahabiyah dan lain-lain. Sebenarnya semua golongan tersebut masuk dalam frame ”Ahlu Sunnah wal Jamaah”. Atau secara umumnya diistilahkan sebagai ”salaf dan khalaf”. Dalam dunia maya seperti Facebook, blog, Twitter dan lainnya ditemui penamaan website dengan slogan yang mengarah kepada pencelaan antara golongan, seperti penamaan ”anti Wahabi”, ”anti Asy’ari”, dan sebagainya. Pelabelan-pelabelan seperti di atas sangat merugikan umat Islam, khususnya antara pengikut manhaj Ahli Sunah sendiri, sebab ia akan menjadi konsumsi publik. Implikasinya, seakan-akan Islam adalah agama perpecahan dan pergaduhan yang tidak mahukan perpaduan, persatuan dan kedamaian antara sesama pemeluknya.
Kita harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan menghujat, maju dan melangkah bersama-sama bukan mundur teratur bersama-sama. Jangan menjajah teman sendiri, golongan sendiri, cukuplah kita dijajah dan diganggu dari dalam dan luar Islam dengan berbagai cabaran seperti kristianisi, sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme dan sebagainya, cabaran inilah yang semestinya menjadi pusat perhatian bersama, sehingga kita dapat mengetepikan ta’assub golongan.
Keadaan yang demikian, akibatnya ukhuwah Islamiyah rusak, persaudaraan Islam bubar, timbul saling dengki-mendengki, benci-membenci sehingga umat Islam menjadi lumpuh tidak berdaya, sekalipun jumlahnya besar. Padahal Allah SWT telah memperingatkan:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (golongan) memperolok-olok kaum (golongan) yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka yang memperolok-olok”. (Al-Hujurat: 11).
Umat Islam tidak perlu disibukkan dengan perkara-perkara Takfir dan Tadhlil atau mengkafirkan orang lain dan menyesatkannya. Biarlah Allah di hari kiamat yang mengadili makhluknya. Sebab kebenaran yang hakiki hanya Allah yang memilikinya dan bukan hamba-Nya. Ulama masing-masing golongan hanya sebatas melakukan ijtihad, yaitu berusaha mencari kebenaran dan kepastian, perkara betul dan salahnya suatu ijtihad maka Nabi saw telah memberikan penilaian, sebagaimana sabda beliau:
“إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ”
“Seorang hakim, apabila berijtihad dan ijtihadnya betul, maka baginya dua pahala, namun apabila ijitihadnya salah, maka baginya satu pahala”. (Bukhari, no: 6919).
Kita bekerja sama dalam perkara yang kita sepaham, dan saling memaafkan satu sama lain terhadap perkara yang kita perselisihkan.
Dengan konsep kembali ke ajaran masing-masing dan tidak memaksakan golongan lain, maka kita mengharap persaudaraan dan hidup berdampingan sesama umat Islam akan tercapai. Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam, tanpa menghiraukan puak, kelompok dan alirannya. Kalau kita sama-sama merenungi ucapan imam al-Tahawi:
“وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلُّهٌ”
“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak menghalalkan perkara dosa yang ia perbuat”.
Maksudnya, antara sesama mukmin dan muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab melabelkan kafir atau muslim itu adalah urusan Allah, bukan urusan manusia. Masalah “Takfir” sangat berat, karena berhubungkait dengan hasil perjalanan akhir hidup manusia yaitu ahli surga atau ahli neraka.
Kesepakatan dalam semua perkara tidak akan pernah terjadi dalam dunia ini, karena Allah telah berfirman:
(وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ)
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Huud: 118).
)وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ(
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. (Yunus: 99).
Ayat di atas menegaskan bahwa dalam lipatan dan rentetan sejarah manusia semenjak dari masa Nabi Adam as sebenarnya sudah wujud pertentangan antara golongan.
Sebuah ungkapan yang menyejukkan hati dari ucapan imam Ibnu Taimiyah tentang hakikat mazhab Asy’ariah ditulis dalam kitabnya “Majmu Fatawa”, bab kitab “مفصل الاعتقاد”:
وَأَمَّا لَعْنُ الْعُلَمَاءِ لِأَئِمَّةِ الأَشْعَرِيَّةِ، فَمَنْ لَعَنَهُمْ عُزِرَ، وَعَادَتِ اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ، فَمَنْ لَعَنَ مَنْ لَيْسَ أَهْلاً لِلَّعْنَةِ وَقَعَتِ اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ. وَالْعُلَمَاءُ أَنْصَارُ فُرُوْعِ الدِّيْنِ، وَالأَشْعَرِيَّةُ أَنْصَارُ أُصُوْلِ الدِّيْنِ
“Manakala sesiapa yang melaknat ulama-ulama Asy’ariah maka si pelaknat itu hendaklah dihukum ta’zir dan kembali laknat itu kepada sesiapa yang melaknat mereka (Asy’ariah), juga sesiapa yang melaknat orang yang bukan ahli untuk dilaknat maka dialah yang perlu dilaknat, ulama (Fiqah) adalah pejuang kepada cabangan agama (fiqah), sedangkan ulama-ulama Asy’ariah adalah pejuang kepada asas agama (usuluddin).”
Oleh karena itu, tidak ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat, tapi jangan sampai perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Boleh menganggap salah golongan lain, tapi jangan mencela dan mencaci. Tanamkan sikap toleransi bukan ta’assub, saling menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya malah memutuskan hubungan, mengajak berdialog dan bukannya berseteru antara satu sama lain. Prioritaskan bendera ”agama” bukan bendera ”mazhab” dan ”golongan”.

Rukun Iman Ahlu Sunnah wal Jamaah

Pengertian istilah Iman

Iman secara bahasa berarti al-tasdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah:
  1. Keyakinan dalam hati (اَلتَّصْدِيْقُ بِالْقَلْبِ).
  2. Perakuan dengan lisan (اَلْإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ).
  3. Pengamalan dengan anggota badan (اَلْعَمَلُ بِالْجَوَارِحِ).
Dengan demikian definisi iman meliputi tiga keperluan: keyakinan hati, perkataan lisan, dan tindakan amal perbuatan. Jika amalan seseorang baik maka nilai iman bertambah, dan jika amalannya buruk/maksiat maka nilai imannya berkurang.
Imam Syafi’i berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal”. Imam Bukhari mengatakan: “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang”.

Rukun Iman:

Rukun Imam ada enam, yaitu:
  1. Iman kepada Allah: Seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga dia mengesakan Allah SWT atau tidak mempersekutukanNya.
  2. Iman kepada para malaikat Allah, bilangan malaikat yang wajib dipercayai ada sepuluh yaitu: Malaikat Jibril, Malaikat Mikail, Malaikat Rakib, Malaikat Atid, Malaikat Mungkar, Malaikat Nakir, Malaikat Izrail, Malaikat Israfil, Malaikat Malik, Malaikat Ridwan.
  3. Iman kepada kitab-kitab Allah dengan meyakini empat kitab yaitu: Kitab Taurat (Nabi Musa), Kitab Zabur (Nabi Daud), Kitab Injil (Nabi Isa), Kitab al-Quran (Nabi Muhammad SAW).
  4. Iman kepada para rasul Allah dengan mengakui bahwa ada di antara laki-laki dari kalangan manusia yang Allah SWT telah memilih sebagai perantara antara diri-Nya dengan para makhluk-Nya. Akan tetapi mereka semua tetaplah merupakan manusia biasa yang sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat dan hak-hak ketuhanan, karenanya menyembah para nabi dan rasul adalah kebatilan yang nyata. Wajib mengimani bahwa semua wahyu kepada nabi dan rasul itu adalah benar dan bersumber dari Allah SWT.
  5. Iman kepada hari akhir/kiamat dengan percaya sepenuhnya bahwa akan terjadi hari kiamat sebagai hari pembalasan amalan-amalan hamba yang telah dilakukan di alam dunia.
  6. Iman kepada qada dan qadar (Takdir) dengan meyakini bahwa segala yang menimpa manusia terjadi di atas kehendak dan keputusan Allah SWT, baik ianya baik mahupun buruk, yaitu takdir yang baik dan buruk.

Kesimpulan

  1. Ahli = keluarga, Sunnah = ucapan, tindakan, persetujuan, dan perilaku Rasulullah Saw dalam menjalankan risalah Islam. Ahlus Sunnah = mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan sunnah para sahabatnya. Al-Jamaah = bersama atau berkumpul dalam kebenaran.
  2. Ahli Sunah wal Jamaah adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Quran dan hadits dengan pemahaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabi’in.
  3. Istilah Ahlu Sunnah wal Jamaah sebenarnya dimunculkan dan disosialisasikan di tengah masyarakat untuk membedakan ajaran Islam yang murni, benar, betul dan lurus daripada ajaran sesat, seperti pemikiran-pemikiran menyimpang dan menyeleweng yang dibawa oleh puak Jahmiyah, Qadariyah, Syiah dan Khawarij.
  4. Sifat Ahlus Sunnah wal Jamaah antara lain: Beriman kepada enam rukun iman, mengakui (mengimani) semua yang dibawa para nabi dan rasul, mengakui salasilah kepimpinan Khulafaurrashidin yang dimulai dengan Abu Bakar, Umar, Usman dan diakhiri oleh Ali bin Abi Thalib.
  5. Ahlu Sunnah wal Jamaah tidak mencela dan mengkafirkan orang yang tidak sealiran dengan mereka.
  6. Puak Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah Ahlu Sunnah wal Jamaah.

BIBLIOGRAFI:

1. Al-Azhari, 1964, Abu Mansour, Tahzib al-Lughah, Darul Makrifat, Beirut-Lebanon.
2. Al-Ghazali, Abu Hamid, 2003, al-Munqiz min al-Dalal, Beirut-Lebanon, Darul Jail.
3. Al-Maturidi, Abu Mansour, 2005, Ta’wilaat Ahlu Sunnah, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiah.
4. Al-Taftazani, Abu al-Wafa, (n.d), Ilmu al-Kalam wa Ba’du Musykilatih, Kahirah-Egypt, Maktabah al-Qahirah al-Haditsah.
5. Hasan, al-Syafi’i, 1991, al-Madkhal ila Dirasah Ilmi al-Kalam, Kaherah-Egypt, Maktabah Wahbah.
6. Ibnu Abi al-‘Iz, 1997, Syarh al-Akidah al-Tahawiyah, Beirut-Lebanon, Muassasah al-Risalah.
7. Ibnu Faris, Ahmad, 2011, Mu’jam Maqaayiis al-Lughah, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiah.
8. Ibnu Mandzur, 2003, LIsan al-Arab, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiah.
9. Ibnu Taimiyah, (n. d), Minhaj al-Sunnah, Kaherah-Egypt, Darul Hadits.
10. Nurdin, Kamaluddin, 2009, Kamus Syawarifiyyah, Sinonim Arab-Indonesia, Jakarta-Indonesia, Ciputat Press.
11. Nurdin, Kamaluddin, 2011, Nash’at al-Firaq wa Tafarruquha, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiah.
12. Tash Kibri Zadah, 2002, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiah.

(dakwatuna/hdn)


Redaktur: Ardne


Share:

Informasi Waktu Dan Jadwal Sholat

Informasi Pelayanan

 Pemerintah Desa  Kantor Balai Desa Formulir Permintaan Informasi Pajak Whatsapp Facebook Twitter

Popular Posts

Categories

kelana 1 (8) kelana 2 (2) kelana 3 (4) kelana 4 (3) kelana 5 (4) label 1 (9) label 2 (9) label 3 (9) label 4 (9) label 5 (9)

Label

Recent Posts